TERAPI MAKRIFAT
Selasa, 19 Februari 2013
Selasa, 05 Februari 2013
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah.
Dia telah mengatur semua urusan kita sebelum kita ada, agar kita merasa tenang
tak perlu ikut mengatur bersama-Nya yang baik.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada sebaik-baik
manusia yang bersandar kepada Tuhan, nabi dan junjungan kita, Muhammad saw.,
yang berdoa, “Ya Allah, pilihkan untukku!”
Sikap mengatur dan menginginkan sesuatu yang telah
ditentukan oleh Allah Swt. merupakan hijab yang paling kuat menutupi hati dari
Sang Pencipta. Karenanya, jiwa ini baru menjadi baik ketika keluar dari pilihan
diri sendiri menuju pilihan Tuhan.
Jika
rida kepada Allah, kita akan pasrah dan mematuhi segala perintah dan
keputusan-Nya. Ketika itulah kita merasa tenteram dengan hukum-Nya dan
menyerahkan seluruh ketentuan kepada-Nya.
Kendati
demikian, tidak semua sikap mengatur tercela. Ada juga mengatur yang terpuji,
yakni yang mendekatkan hamba kepada Allah Swt. sekaligus mengantarnya menuju
rida-Nya. Mengatur yang tercela adalah yang mencari dunia untuk dirinya
sendiri, bukan untuk Tuhannya, untuk dunianya, bukan untuk akhiratnya.
Manusia
cenderung ingin mengatur karena, utamanya, ia merisaukan urusan rezekina. Allah
Swt mengetahui kerisauan manusia itu sehingga Dia bersumpah dalam firman-Nya,
“Maka demi Tuhan Pencipta langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan-Nya
benar adanya seperti perkataan yang kalian ucapkan.”
Seluruh
penduduk langit berseru, “Siapakah yang telah berani-beraninya membuat Tuhan
murka sehingga Dia bersumpah dengan nama-Nya yang mahamulia?”
Tuhan
Yang Mahakuasa seakan-akan berkata, “Hamba-Ku, siapakah zat yang telah mengatur
urusanmu ketika kau berada dalam kegelapan rahim. Siapakah yang telah
mengurusmu setelah keluar. Dia mengurusmu melalui karunia dan pemeliharaan-Nya
ketika kau kecil. Lalu, setelah besar kaungin mencampuri urusan-Nya?!
Hamba-Ku,
pilihlah Aku. Jangan memilih selain-Ku. Dengan begitu, Aku akan memperlihatkan
kepadamu kelembutan dan kebaikan-Ku yang menakjubkan.
Hamba-Ku,
mungkinkah Aku menciptakan makhluk lalu Kuserahkan mereka kepada selain Aku?!
Sementara, Akulah Zat yang memberi karunia kepada semua.”
Karena
itulah para nabi dan para arif senantiasa menyerahkan pengaturan kepada Allah
Swt. sikap pasrah dan anut itu menjadi ciri utama mereka
Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang
Syekh
al-imam, al arif, sang teladan, ahli hakikat, mahkota para arif, juru bicara
para ahli kalam, pemimpin di masanya, anak zamannya, hujjah kaum salaf, imam
ulama khalaf, panutan para salik, hujjah ahli takwa, pemimpin agama, Abu
al-Fadhl, Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Athaillah al-Sakandari r.a.,
semoga Allah, Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan, meridai
dan memberi manfaat melaluinya kepada kita semua berkata:
Segala
puji bagi Allah, satu-satunya pemilik kebenaran, zat yang berhak mengatur,
satu-satunya pembuat hukum dan ketentuan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya. Dia Maha Mendengar. Dia Maha Melihat. Tak ada yang membantu-Nya
dalam menjalankan kekuasaan-Nya.
Dia
adalah Raja Diraja. Tidak ada sesuatu pun, besar maupun kecil, yang berada di
luar kekuasaan-Nya. Tak ada yang menyerupai dalam kesempurnaan sifat-Nya. Kesempurnaan
zat-Nya tak terbayangkan.
Dia
Maha Mengetahui. Tak ada sesuatu pun dalam diri ini yang luput dari
pengetahuan-Nya. “ Apakah Allah, zat yang menciptakan tidak mengetahui, padahal
Dia Mahalembut dan Maha Mengetahui.”
Dia
Maha Berilmu. Ilmun-Nya meliputi awal dan akhir segala urusan.
Dia
Maha Mendengar. Tak ada yang luput dari pendengaran-Nya, baik yang nyaring
maupun yang samar.
Dia
Maha memberi rezeki, yang terus-menerus melimpahi makhluk-Nya, dengan makanan.
Dia
Maha tegak, yang mencukupi seluruh makhluk dalam seluruh keadaan mereka.
Dia
Maha Pemberi, yang menganugerahi setiap jiwa eksistensi kehidupannya.
Dia
Mahakuasa. Kepada-Nya seluruh manusia kembali setelah kematian mereka.
Dia
Maha Menghitung. Dia akan memberikan balasan kepada manusia yang datang membawa
amal kebaikan dan keburukannya. Mahasuci Tuhan yang telah memberi kebaikan
kepada hamba-Nya sebelum mereka mewujud. Dia mencukupi rezeki mereka, baik
ketika mereka mengakui maupun ketika membangkang. Dia menggenapi seluruh wujud
dengan karunia-Nya. Keberadaan-Nya menjaga keberadaan semesta melalui bentangan
keabadian-Nya, yang tampak lewat hikmah-Nya di bumi dan lewat kekuasaan-Nya di
langit.
Aku
bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah
kesaksian seorang hamba yang pasrah kepada ketentuan-Nya, yang menerima selaksa
hukum dan keputusan-Nya.
Aku
juga bersaksi, Muhammad adalh hamba dan utusan-Nya yang dimuliakan atas seluruh
nabi, yang dilimpahi anugerah dan karunia-Nya, satu-satunya pembuka dan
penutup, dan yang memberikan syafaat kepada semua hamba ketika Tuhan
mengumpulkan mereka untuk menghadapi ketentuan-Nya. Semoga Allah mencurahkan
shalawat dan salam kepadanya, kepada seluruh nabi-Nya, keluarganya, dan para
sahabat yang tetap setia kepadanya.
SAUDARAKU, KETAHUILAH!
Allah telah memasukkanmu ke dalam golongan orang yang mencintai-Nya,
menganugerahimu kedekatan kepada-Nya, menyelamatkanmu lewat hubungan yang tak
terputus dari-Nya, mengaitkanmu dengan para hamba yang terhubung dengan-Nya.
Dengan cahaya manifestasi-Nya Dia pecahkan kekerasan hati mereka, setelah
mereka mengetahui bahwa Dia tak terjangkau mata dan tak terjamah akal. Dia
bukakan taman kedekatan dan Dia embuskan semerbak kedekatan ke hati mereka. Dia
perlihatkan kepada mereka pengaturan-Nya yang telah berlaku atas mereka
sehingga mereka pun menyerahkan kendali kepada-Nya. Dia singkapkan kepada
mereka kelembutan karunia penciptaan-Nya sehingga mereka tidak menentang dan
membangkang.
Mereka
pasrah dan bersandar kepada-Nya dalam selaksa perkara karena tahu bahwa seorang
hamba tidak bisa mencapai rida-Nya kecuali dengan sikap rida dan tidak akan
mencapai penghambaan sejati kecuali dengan pasrah pada ketentuan-Nya. Mereka
tidak disibukkan oleh segala sesuatu selain Dia; mereka pun tak tersentuh
kotoran.
Mereka
tunduk pada keagungan-Nya dalam setiap ketentuan yang berlaku; mereka
senantiasa pasrah pada segala hukum-Nya.
Siapa
pun yang ingin sampai kepada Allah Swt, tentu saja harus datang melalui
pitu-Nya dan mencapai-Nya lewat keberadaan sebab-sebab –Nya.
Setelah
itu, jangan pernah berupaya untuk ikut mengatur atau ikut campur dalam
pengaturan dan ketentuan-Nya.
Kamis, 31 Januari 2013
Misteri Berserah Kepada Allah
SEBUAH
PENGANTAR
KEPASRAHAN
YANG MENCERDASKAN JIWA
Buku
ini menawarkan cara tepat untuk memandang hidup. Karenanya, buku ini bak
kacamata, yang dengannnya matahati kita yang rabun bisa melihat lebih sempurna.
Dengan penglihatan yang sempurna, tentulah hidup ini menjadi semakin jelas. Dan
dengan jelasnya hidup, tentunya perjalanan kita menempuhnya menjadi lebih lurus
dan lancar—tidak nabrak-nabrak dan tidak nyasar.
Syekh Ibn Athaillah mengajak pembaca
untuk menghayati posisi kita selaku hamba Allah. Kita ini hamba. Dan Allahlah
Sang Majikan. Sebagai hamba-Nya, kita tertuntut untuk memusatkan perhatian pada
upaya mengabdi kepada-Nya. Amatlah tidak sopan bila kita justru mengerahkan
segenap daya untuk memerhatikan dan memuaskan kepentingan diri sendiri. Karena
inilah Ibn Athaillah mengingatkan kita
akan betapa pentingnya isqath al-tadbir
– tema utama buku ini – yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur dan
menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni.
Dalam pandangan Ibn Athaillah,
pengabdian kita kepada Allah seharusnya tidak hanya ditunaikan dengan
menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan Allah, namun pula dengan
menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan Allah. Kematangan iman hanya
bisa dirasakan bila kedua hal ini secara sempurna dilaksanakan. Dengan
demikian, sebenarnya ada dua hukum yang patut dipatuhi oleh orang beriman,
yaitu hukum taklif yang sudah lazim kita kenal sebagai berbagai perintah dan
larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan hukum takdir yang
mencakup ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani dalam hidup.
Keperluan atau kebutuhan hidup
makhluk sebetulnya adalah sesuatu yang sudah dan terus dijamin oleh Allah.
Dengan ilmu-Nya, Alah sudah mengatur diri kita bahkan sebelum kita ada. Setelah
kita terlahir di dunia, Allah pun terus mengatur urusan kita. Akan tetapi,
setelah berakal, kebanyakan manusia seolah lupa bahwa selama ini urusan
hidupnya ada dalam pengaturan Alah. Setelah berakal, mereka seakan ingin mengambil
alih ‘hak pengaturan’ itu; mereka ingin mereka sendiri yang mengatur segenap urusan
hidup mereka. Dalam pikiran Ibn Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru
sebentuk ketidakbersyukuran atas nikmat akal.
Allah tidak berhenti mengurus kita
sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya terus berlaku. Akal kita semestinya
kita gunakan untuk memahami dan melaksanakan kita gunakan untuk memahami dan
melaksanakan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk
memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.
Yang lebih penting untuk kita
perhatikan adalah apa yang dituntut dari kita, bukan yang dijamin untuk kita.
Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah
bertutur, “Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan
kelalaianmu melaksanakan apa yang sudah dituntut darimu, adalah bukti dari
rabunnya mata batinmu.” Karena itu, “istirahatkan dirimu dari mengatur
urusanmu, karena segala yang telah diurus oleh ‘Selainmu’ (yakni Allah), tak
perlu engkau turut mengurusnya.”
Lagi pula, “Menggebunya semangat tak
akan mampu menerobos benteng takdir.” Maksudnya, seberapa banyak pun energi
yang kita curahkan untuk memenuhi suatu keinginan, tetap saja itu tak akan
tergapai jika tak sesuai dengan keputusan Tuhan. Kita tak dapat memenangkan
kehendak kita di atas kehendak-Nya. Kita bahkan kerap menemukan bahwa takdir
dan ketentuan yang berlaku pada diri manusia bukanlah yang sesuai dengan
pengaturan olehnya. Pengaturan manusia ibarat rumah pasir di tepi laut, yang
bisa demikian mudah runtuh tatkala ombak takdir Tuhan berlabuh.
Dalam hidup, kita juga acap
menemukan bahwa apa yang menurut kita baik ternyata bisa membawa keburukan, dan
sebaliknya, apa yang kita sangka buruk ternyata malah mendatangkan kebaikan.
Boleh jadi ada keuntungan di balik kesulitan, dan ada kesulitan di balik
keuntungan. Boleh jadi pula kerugian muncul dari kemudahan, dan kemudahan
muncul dari kerugian. Mana yang berguna dan mana yang ber-bahaya pada akhirnya
adalah sesuatu di luar pengetahuan kita.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn
Athaillah, ‘sibuk mengatur nasib sendiri’ sejatinya adalah tindakan yang
kurang-lebih sia-sia, apalagi bila kesibukan ini melalaikan kita dari
tugas-tugas sebagai hamba. Lucu sekali bila manusia tetap berhasrat akan pengaturan
diri. Pertama, karena ia pada dasarnya tak mengetahui apa yang terbaik bagi
dirinya. Dan kedua, karena Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat
para makhluk-Nya senantiasa dekat dan mengatur secara baik. Allah itu dekat dan
karenanya senantiasa memberi perhatian kepada kita sekalipun tanpa
sepengetahuan kita. Tidak percaya kalau Dia tak akan mengabaikan kita adalah
bukti lemahnya iman kita. Allah juga sayang dan karenanya selalu mengatur
urusan kita secara baik. Pengaturan kita terhadap diri kita sebenarnya adalah
bukti ketidaktahuan kita akan pengaturan Allah yang baik terhadap diri kita –
dan karenanya adalah juga bukti minimnya cahaya makrifat di hati kita. Lebih
dari sekadar ironi dan kesia-siaan, Ibn Athaillah juga mengkategorikan sikap sibuk
mengatur urusan diri sebagai sebentuk syirik rububiah. Bila syirik uluhiah
berarti meyakini ada tuhan lain yang patut disembah selain Allah, atau
menentang ketuhanan Allah; syirik rububiah berarti meyakini ada pengatur lain
yang turut mengurus kehidupan selain Allah – dalam hal ini kita ‘meyakini’
bahwa kita bisa menjadi pengatur selain-Nya – atau menentang pengaturan Allah.
Bila demikian, sesungguhnya Ibn Athaillah bermaksud menyadarkan kita akan
sesuatu yang sangat berbahaya dalam konteks penghambaan kita kepada Allah. Dan rasa-rasanya
buku ini menjadi wajib dibaca oleh mereka yang berislam, yang menyatakan
keberserahan diri mereka kepada Allah.
Mereka yang memelihara kesopanan
kepada Allah dan tidak ingin jauh dari-Nya, tentu akan mencoba menggugurkan
tadbir dan iradah mereka yang membuat mereka terhijab (tertabiri) dari Allah. Mereka
akan keluar dari gelapnya tadbir (sikap mengatur diri) menuju terangnya tafwidh, yakni penyerahan urusan atau
pilihan hidup kepada Allah, hingga mereka menyaksikan bahwa diri ini diatur dan
tidak turut mengatur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan
dan tidak bergerak sendiri. Untuk ini diperlukan sikap rida dengan pengaturan
Allah. Rasa berat hati hanya akan membuat hati tetap terhijab dari cahaya
Allah. Selain itu diperlukan pula sikap selalu berbaik sangka kepada Allah. Allah
lebih tahu mengenai apa yang terbaik buat hamba-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar