Selasa, 19 Februari 2013

gembok anti maling


Sales Program TokoOne.Com: GEMBOK ALARM ANTI MALING

Jumat, 25 Januari 2013

GEMBOK ALARM ANTI MALING

ORDER OR REVIEW HERE !
GEMBOK ALARM ANTI MALING YG MENGELUARKAN BUNYI KENCANG SAAT TERGETAR, COCOK UNTUK MENGUNCI MOTOR, SEPEDA, PAGAR RUMAH & LAINNYA.
GEMBOK YG DAPAT MENGELUARKAN BUNYI ALARM YG KENCENG SAAT TERGETAR, SANGAT COCOK UNTUK MENGUNCI MOTOR, SEPEDA, PAGAR RUMAH DAN KEAMANAN LAINNYA…

Cara penggunaan:
1. Buka tangkai gembok dengan masukan anak kunci k lubang kunci yg ada disamping badan
gembok
2. Pasang tangkai gembok dengan posisi diputar maka akan berbunyi tet.. yg menandakan
alarm telah berfungsi
3. Getaran/guncangan dibadan gembok pertama akan bunyi tet-tet-tet…getaran
selanjutnya akan berbunyi seperti alarm.


Barang dikirim dari: Bandung
Berat pengiriman: 500 gram
Bisa mengirim dengan: JNE – - POS Indonesia – -
Kondisi: Baru
Harga belum termasuk ongkos kirim
Harga Rp 110.000

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Selasa, 05 Februari 2013

PENDAHULUAN



PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah. Dia telah mengatur semua urusan kita sebelum kita ada, agar kita merasa tenang tak perlu ikut mengatur bersama-Nya yang baik.
            Shalawat dan salam semoga tercurah kepada sebaik-baik manusia yang bersandar kepada Tuhan, nabi dan junjungan kita, Muhammad saw., yang berdoa, “Ya Allah, pilihkan untukku!”
            Sikap mengatur dan menginginkan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah Swt. merupakan hijab yang paling kuat menutupi hati dari Sang Pencipta. Karenanya, jiwa ini baru menjadi baik ketika keluar dari pilihan diri sendiri menuju pilihan Tuhan.
Jika rida kepada Allah, kita akan pasrah dan mematuhi segala perintah dan keputusan-Nya. Ketika itulah kita merasa tenteram dengan hukum-Nya dan menyerahkan seluruh ketentuan kepada-Nya.
Kendati demikian, tidak semua sikap mengatur tercela. Ada juga mengatur yang terpuji, yakni yang mendekatkan hamba kepada Allah Swt. sekaligus mengantarnya menuju rida-Nya. Mengatur yang tercela adalah yang mencari dunia untuk dirinya sendiri, bukan untuk Tuhannya, untuk dunianya, bukan untuk akhiratnya.
Manusia cenderung ingin mengatur karena, utamanya, ia merisaukan urusan rezekina. Allah Swt mengetahui kerisauan manusia itu sehingga Dia bersumpah dalam firman-Nya, “Maka demi Tuhan Pencipta langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan-Nya benar adanya seperti perkataan yang kalian ucapkan.”
Seluruh penduduk langit berseru, “Siapakah yang telah berani-beraninya membuat Tuhan murka sehingga Dia bersumpah dengan nama-Nya yang mahamulia?”
Tuhan Yang Mahakuasa seakan-akan berkata, “Hamba-Ku, siapakah zat yang telah mengatur urusanmu ketika kau berada dalam kegelapan rahim. Siapakah yang telah mengurusmu setelah keluar. Dia mengurusmu melalui karunia dan pemeliharaan-Nya ketika kau kecil. Lalu, setelah besar kaungin mencampuri urusan-Nya?!
Hamba-Ku, pilihlah Aku. Jangan memilih selain-Ku. Dengan begitu, Aku akan memperlihatkan kepadamu kelembutan dan kebaikan-Ku yang menakjubkan.
Hamba-Ku, mungkinkah Aku menciptakan makhluk lalu Kuserahkan mereka kepada selain Aku?! Sementara, Akulah Zat yang memberi karunia kepada semua.”
Karena itulah para nabi dan para arif senantiasa menyerahkan pengaturan kepada Allah Swt. sikap pasrah dan anut itu menjadi ciri utama mereka

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Syekh al-imam, al arif, sang teladan, ahli hakikat, mahkota para arif, juru bicara para ahli kalam, pemimpin di masanya, anak zamannya, hujjah kaum salaf, imam ulama khalaf, panutan para salik, hujjah ahli takwa, pemimpin agama, Abu al-Fadhl, Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Athaillah al-Sakandari r.a., semoga Allah, Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan, meridai dan memberi manfaat melaluinya kepada kita semua berkata:
Segala puji bagi Allah, satu-satunya pemilik kebenaran, zat yang berhak mengatur, satu-satunya pembuat hukum dan ketentuan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar. Dia Maha Melihat. Tak ada yang membantu-Nya dalam menjalankan kekuasaan-Nya.
Dia adalah Raja Diraja. Tidak ada sesuatu pun, besar maupun kecil, yang berada di luar kekuasaan-Nya. Tak ada yang menyerupai dalam kesempurnaan sifat-Nya. Kesempurnaan zat-Nya tak terbayangkan.
Dia Maha Mengetahui. Tak ada sesuatu pun dalam diri ini yang luput dari pengetahuan-Nya. “ Apakah Allah, zat yang menciptakan tidak mengetahui, padahal Dia Mahalembut dan Maha Mengetahui.”
Dia Maha Berilmu. Ilmun-Nya meliputi awal dan akhir segala urusan.
Dia Maha Mendengar. Tak ada yang luput dari pendengaran-Nya, baik yang nyaring maupun yang samar.
Dia Maha memberi rezeki, yang terus-menerus melimpahi makhluk-Nya, dengan makanan.
Dia Maha tegak, yang mencukupi seluruh makhluk dalam seluruh keadaan mereka.
Dia Maha Pemberi, yang menganugerahi setiap jiwa eksistensi kehidupannya.
Dia Mahakuasa. Kepada-Nya seluruh manusia kembali setelah kematian mereka.
Dia Maha Menghitung. Dia akan memberikan balasan kepada manusia yang datang membawa amal kebaikan dan keburukannya. Mahasuci Tuhan yang telah memberi kebaikan kepada hamba-Nya sebelum mereka mewujud. Dia mencukupi rezeki mereka, baik ketika mereka mengakui maupun ketika membangkang. Dia menggenapi seluruh wujud dengan karunia-Nya. Keberadaan-Nya menjaga keberadaan semesta melalui bentangan keabadian-Nya, yang tampak lewat hikmah-Nya di bumi dan lewat kekuasaan-Nya di langit.
Aku bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah kesaksian seorang hamba yang pasrah kepada ketentuan-Nya, yang menerima selaksa hukum dan keputusan-Nya.
Aku juga bersaksi, Muhammad adalh hamba dan utusan-Nya yang dimuliakan atas seluruh nabi, yang dilimpahi anugerah dan karunia-Nya, satu-satunya pembuka dan penutup, dan yang memberikan syafaat kepada semua hamba ketika Tuhan mengumpulkan mereka untuk menghadapi ketentuan-Nya. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepadanya, kepada seluruh nabi-Nya, keluarganya, dan para sahabat yang tetap setia kepadanya.

SAUDARAKU, KETAHUILAH! Allah telah memasukkanmu ke dalam golongan orang yang mencintai-Nya, menganugerahimu kedekatan kepada-Nya, menyelamatkanmu lewat hubungan yang tak terputus dari-Nya, mengaitkanmu dengan para hamba yang terhubung dengan-Nya. Dengan cahaya manifestasi-Nya Dia pecahkan kekerasan hati mereka, setelah mereka mengetahui bahwa Dia tak terjangkau mata dan tak terjamah akal. Dia bukakan taman kedekatan dan Dia embuskan semerbak kedekatan ke hati mereka. Dia perlihatkan kepada mereka pengaturan-Nya yang telah berlaku atas mereka sehingga mereka pun menyerahkan kendali kepada-Nya. Dia singkapkan kepada mereka kelembutan karunia penciptaan-Nya sehingga mereka tidak menentang dan membangkang.
Mereka pasrah dan bersandar kepada-Nya dalam selaksa perkara karena tahu bahwa seorang hamba tidak bisa mencapai rida-Nya kecuali dengan sikap rida dan tidak akan mencapai penghambaan sejati kecuali dengan pasrah pada ketentuan-Nya. Mereka tidak disibukkan oleh segala sesuatu selain Dia; mereka pun tak tersentuh kotoran.
Mereka tunduk pada keagungan-Nya dalam setiap ketentuan yang berlaku; mereka senantiasa pasrah pada segala hukum-Nya.
Siapa pun yang ingin sampai kepada Allah Swt, tentu saja harus datang melalui pitu-Nya dan mencapai-Nya lewat keberadaan sebab-sebab –Nya.
Setelah itu, jangan pernah berupaya untuk ikut mengatur atau ikut campur dalam pengaturan dan ketentuan-Nya.

Kamis, 31 Januari 2013

Misteri Berserah Kepada Allah



SEBUAH PENGANTAR
KEPASRAHAN
YANG MENCERDASKAN JIWA


Buku ini menawarkan cara tepat untuk memandang hidup. Karenanya, buku ini bak kacamata, yang dengannnya matahati kita yang rabun bisa melihat lebih sempurna. Dengan penglihatan yang sempurna, tentulah hidup ini menjadi semakin jelas. Dan dengan jelasnya hidup, tentunya perjalanan kita menempuhnya menjadi lebih lurus dan lancar—tidak nabrak-nabrak dan tidak nyasar.
            Syekh Ibn Athaillah mengajak pembaca untuk menghayati posisi kita selaku hamba Allah. Kita ini hamba. Dan Allahlah Sang Majikan. Sebagai hamba-Nya, kita tertuntut untuk memusatkan perhatian pada upaya mengabdi kepada-Nya. Amatlah tidak sopan bila kita justru mengerahkan segenap daya untuk memerhatikan dan memuaskan kepentingan diri sendiri. Karena inilah Ibn Athaillah  mengingatkan kita akan betapa pentingnya isqath al-tadbir – tema utama buku ini – yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur dan menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni.
            Dalam pandangan Ibn Athaillah, pengabdian kita kepada Allah seharusnya tidak hanya ditunaikan dengan menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan Allah, namun pula dengan menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan Allah. Kematangan iman hanya bisa dirasakan bila kedua hal ini secara sempurna dilaksanakan. Dengan demikian, sebenarnya ada dua hukum yang patut dipatuhi oleh orang beriman, yaitu hukum taklif yang sudah lazim kita kenal sebagai berbagai perintah dan larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan hukum takdir yang mencakup ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani dalam hidup.
            Keperluan atau kebutuhan hidup makhluk sebetulnya adalah sesuatu yang sudah dan terus dijamin oleh Allah. Dengan ilmu-Nya, Alah sudah mengatur diri kita bahkan sebelum kita ada. Setelah kita terlahir di dunia, Allah pun terus mengatur urusan kita. Akan tetapi, setelah berakal, kebanyakan manusia seolah lupa bahwa selama ini urusan hidupnya ada dalam pengaturan Alah. Setelah berakal, mereka seakan ingin mengambil alih ‘hak pengaturan’ itu; mereka ingin mereka sendiri yang mengatur segenap urusan hidup mereka. Dalam pikiran Ibn Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru sebentuk ketidakbersyukuran atas nikmat akal.
            Allah tidak berhenti mengurus kita sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya terus berlaku. Akal kita semestinya kita gunakan untuk memahami dan melaksanakan kita gunakan untuk memahami dan melaksanakan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.
            Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah apa yang dituntut dari kita, bukan yang dijamin untuk kita. Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah bertutur, “Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang sudah dituntut darimu, adalah bukti dari rabunnya mata batinmu.” Karena itu, “istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu, karena segala yang telah diurus oleh ‘Selainmu’ (yakni Allah), tak perlu engkau turut mengurusnya.”
            Lagi pula, “Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir.” Maksudnya, seberapa banyak pun energi yang kita curahkan untuk memenuhi suatu keinginan, tetap saja itu tak akan tergapai jika tak sesuai dengan keputusan Tuhan. Kita tak dapat memenangkan kehendak kita di atas kehendak-Nya. Kita bahkan kerap menemukan bahwa takdir dan ketentuan yang berlaku pada diri manusia bukanlah yang sesuai dengan pengaturan olehnya. Pengaturan manusia ibarat rumah pasir di tepi laut, yang bisa demikian mudah runtuh tatkala ombak takdir Tuhan berlabuh.
            Dalam hidup, kita juga acap menemukan bahwa apa yang menurut kita baik ternyata bisa membawa keburukan, dan sebaliknya, apa yang kita sangka buruk ternyata malah mendatangkan kebaikan. Boleh jadi ada keuntungan di balik kesulitan, dan ada kesulitan di balik keuntungan. Boleh jadi pula kerugian muncul dari kemudahan, dan kemudahan muncul dari kerugian. Mana yang berguna dan mana yang ber-bahaya pada akhirnya adalah sesuatu di luar pengetahuan kita.
            Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn Athaillah, ‘sibuk mengatur nasib sendiri’ sejatinya adalah tindakan yang kurang-lebih sia-sia, apalagi bila kesibukan ini melalaikan kita dari tugas-tugas sebagai hamba. Lucu sekali bila manusia tetap berhasrat akan pengaturan diri. Pertama, karena ia pada dasarnya tak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya. Dan kedua, karena Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat para makhluk-Nya senantiasa dekat dan mengatur secara baik. Allah itu dekat dan karenanya senantiasa memberi perhatian kepada kita sekalipun tanpa sepengetahuan kita. Tidak percaya kalau Dia tak akan mengabaikan kita adalah bukti lemahnya iman kita. Allah juga sayang dan karenanya selalu mengatur urusan kita secara baik. Pengaturan kita terhadap diri kita sebenarnya adalah bukti ketidaktahuan kita akan pengaturan Allah yang baik terhadap diri kita – dan karenanya adalah juga bukti minimnya cahaya makrifat di hati kita. Lebih dari sekadar ironi dan kesia-siaan, Ibn Athaillah juga mengkategorikan sikap sibuk mengatur urusan diri sebagai sebentuk syirik rububiah. Bila syirik uluhiah berarti meyakini ada tuhan lain yang patut disembah selain Allah, atau menentang ketuhanan Allah; syirik rububiah berarti meyakini ada pengatur lain yang turut mengurus kehidupan selain Allah – dalam hal ini kita ‘meyakini’ bahwa kita bisa menjadi pengatur selain-Nya – atau menentang pengaturan Allah. Bila demikian, sesungguhnya Ibn Athaillah bermaksud menyadarkan kita akan sesuatu yang sangat berbahaya dalam konteks penghambaan kita kepada Allah. Dan rasa-rasanya buku ini menjadi wajib dibaca oleh mereka yang berislam, yang menyatakan keberserahan diri mereka kepada Allah.
            Mereka yang memelihara kesopanan kepada Allah dan tidak ingin jauh dari-Nya, tentu akan mencoba menggugurkan tadbir dan iradah mereka yang membuat mereka terhijab (tertabiri) dari Allah. Mereka akan keluar dari gelapnya tadbir (sikap mengatur diri) menuju terangnya tafwidh, yakni penyerahan urusan atau pilihan hidup kepada Allah, hingga mereka menyaksikan bahwa diri ini diatur dan tidak turut mengatur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan dan tidak bergerak sendiri. Untuk ini diperlukan sikap rida dengan pengaturan Allah. Rasa berat hati hanya akan membuat hati tetap terhijab dari cahaya Allah. Selain itu diperlukan pula sikap selalu berbaik sangka kepada Allah. Allah lebih tahu mengenai apa yang terbaik buat hamba-Nya.