SEBUAH
PENGANTAR
KEPASRAHAN
YANG MENCERDASKAN JIWA
Buku
ini menawarkan cara tepat untuk memandang hidup. Karenanya, buku ini bak
kacamata, yang dengannnya matahati kita yang rabun bisa melihat lebih sempurna.
Dengan penglihatan yang sempurna, tentulah hidup ini menjadi semakin jelas. Dan
dengan jelasnya hidup, tentunya perjalanan kita menempuhnya menjadi lebih lurus
dan lancar—tidak nabrak-nabrak dan tidak nyasar.
Syekh Ibn Athaillah mengajak pembaca
untuk menghayati posisi kita selaku hamba Allah. Kita ini hamba. Dan Allahlah
Sang Majikan. Sebagai hamba-Nya, kita tertuntut untuk memusatkan perhatian pada
upaya mengabdi kepada-Nya. Amatlah tidak sopan bila kita justru mengerahkan
segenap daya untuk memerhatikan dan memuaskan kepentingan diri sendiri. Karena
inilah Ibn Athaillah mengingatkan kita
akan betapa pentingnya isqath al-tadbir
– tema utama buku ini – yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur dan
menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni.
Dalam pandangan Ibn Athaillah,
pengabdian kita kepada Allah seharusnya tidak hanya ditunaikan dengan
menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan Allah, namun pula dengan
menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan Allah. Kematangan iman hanya
bisa dirasakan bila kedua hal ini secara sempurna dilaksanakan. Dengan
demikian, sebenarnya ada dua hukum yang patut dipatuhi oleh orang beriman,
yaitu hukum taklif yang sudah lazim kita kenal sebagai berbagai perintah dan
larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan hukum takdir yang
mencakup ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani dalam hidup.
Keperluan atau kebutuhan hidup
makhluk sebetulnya adalah sesuatu yang sudah dan terus dijamin oleh Allah.
Dengan ilmu-Nya, Alah sudah mengatur diri kita bahkan sebelum kita ada. Setelah
kita terlahir di dunia, Allah pun terus mengatur urusan kita. Akan tetapi,
setelah berakal, kebanyakan manusia seolah lupa bahwa selama ini urusan
hidupnya ada dalam pengaturan Alah. Setelah berakal, mereka seakan ingin mengambil
alih ‘hak pengaturan’ itu; mereka ingin mereka sendiri yang mengatur segenap urusan
hidup mereka. Dalam pikiran Ibn Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru
sebentuk ketidakbersyukuran atas nikmat akal.
Allah tidak berhenti mengurus kita
sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya terus berlaku. Akal kita semestinya
kita gunakan untuk memahami dan melaksanakan kita gunakan untuk memahami dan
melaksanakan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk
memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.
Yang lebih penting untuk kita
perhatikan adalah apa yang dituntut dari kita, bukan yang dijamin untuk kita.
Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah
bertutur, “Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan
kelalaianmu melaksanakan apa yang sudah dituntut darimu, adalah bukti dari
rabunnya mata batinmu.” Karena itu, “istirahatkan dirimu dari mengatur
urusanmu, karena segala yang telah diurus oleh ‘Selainmu’ (yakni Allah), tak
perlu engkau turut mengurusnya.”
Lagi pula, “Menggebunya semangat tak
akan mampu menerobos benteng takdir.” Maksudnya, seberapa banyak pun energi
yang kita curahkan untuk memenuhi suatu keinginan, tetap saja itu tak akan
tergapai jika tak sesuai dengan keputusan Tuhan. Kita tak dapat memenangkan
kehendak kita di atas kehendak-Nya. Kita bahkan kerap menemukan bahwa takdir
dan ketentuan yang berlaku pada diri manusia bukanlah yang sesuai dengan
pengaturan olehnya. Pengaturan manusia ibarat rumah pasir di tepi laut, yang
bisa demikian mudah runtuh tatkala ombak takdir Tuhan berlabuh.
Dalam hidup, kita juga acap
menemukan bahwa apa yang menurut kita baik ternyata bisa membawa keburukan, dan
sebaliknya, apa yang kita sangka buruk ternyata malah mendatangkan kebaikan.
Boleh jadi ada keuntungan di balik kesulitan, dan ada kesulitan di balik
keuntungan. Boleh jadi pula kerugian muncul dari kemudahan, dan kemudahan
muncul dari kerugian. Mana yang berguna dan mana yang ber-bahaya pada akhirnya
adalah sesuatu di luar pengetahuan kita.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn
Athaillah, ‘sibuk mengatur nasib sendiri’ sejatinya adalah tindakan yang
kurang-lebih sia-sia, apalagi bila kesibukan ini melalaikan kita dari
tugas-tugas sebagai hamba. Lucu sekali bila manusia tetap berhasrat akan pengaturan
diri. Pertama, karena ia pada dasarnya tak mengetahui apa yang terbaik bagi
dirinya. Dan kedua, karena Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat
para makhluk-Nya senantiasa dekat dan mengatur secara baik. Allah itu dekat dan
karenanya senantiasa memberi perhatian kepada kita sekalipun tanpa
sepengetahuan kita. Tidak percaya kalau Dia tak akan mengabaikan kita adalah
bukti lemahnya iman kita. Allah juga sayang dan karenanya selalu mengatur
urusan kita secara baik. Pengaturan kita terhadap diri kita sebenarnya adalah
bukti ketidaktahuan kita akan pengaturan Allah yang baik terhadap diri kita –
dan karenanya adalah juga bukti minimnya cahaya makrifat di hati kita. Lebih
dari sekadar ironi dan kesia-siaan, Ibn Athaillah juga mengkategorikan sikap sibuk
mengatur urusan diri sebagai sebentuk syirik rububiah. Bila syirik uluhiah
berarti meyakini ada tuhan lain yang patut disembah selain Allah, atau
menentang ketuhanan Allah; syirik rububiah berarti meyakini ada pengatur lain
yang turut mengurus kehidupan selain Allah – dalam hal ini kita ‘meyakini’
bahwa kita bisa menjadi pengatur selain-Nya – atau menentang pengaturan Allah.
Bila demikian, sesungguhnya Ibn Athaillah bermaksud menyadarkan kita akan
sesuatu yang sangat berbahaya dalam konteks penghambaan kita kepada Allah. Dan rasa-rasanya
buku ini menjadi wajib dibaca oleh mereka yang berislam, yang menyatakan
keberserahan diri mereka kepada Allah.
Mereka yang memelihara kesopanan
kepada Allah dan tidak ingin jauh dari-Nya, tentu akan mencoba menggugurkan
tadbir dan iradah mereka yang membuat mereka terhijab (tertabiri) dari Allah. Mereka
akan keluar dari gelapnya tadbir (sikap mengatur diri) menuju terangnya tafwidh, yakni penyerahan urusan atau
pilihan hidup kepada Allah, hingga mereka menyaksikan bahwa diri ini diatur dan
tidak turut mengatur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan
dan tidak bergerak sendiri. Untuk ini diperlukan sikap rida dengan pengaturan
Allah. Rasa berat hati hanya akan membuat hati tetap terhijab dari cahaya
Allah. Selain itu diperlukan pula sikap selalu berbaik sangka kepada Allah. Allah
lebih tahu mengenai apa yang terbaik buat hamba-Nya.